Selasa, 28 Januari 2014

Bagaimana kalau anak kolokan?

Posting berikut ini adalah petikan dari tanya jawab di bagian “Comment” Facebook IISA VISI WASKITA pada tanggal 10 September 2012 yang merupakan respon terhadap kutipan harian yang dibuat oleh Edy Suhardono.

Edy Suhardono, IISA VISIWASKITA: Assessment, Consultancy & Research Centre

Selamat pagi...selamat menikmati minggu baru...

Tampaknya tak ada alasan bagi Anda untuk menunda berkomunikasi dengan anak-anak Anda, sebab ternyata mereka membutuhkan kehadiran Anda lebih dari kehadiran Anda secara fisik. (Edy Suhardono, 2012)


Komentar:

Ega Suparno
Selamat pagi pak Edi. mau tanya bagaimana anak kalau kolokan, apakan tanda anak kurang perhatian dari orang tua ? ekpresi ingin di perhatikan dari orang tua. terima kasih
Jalinan komunikasi yang intens, terbuka dan mutual dasar awal mesranya hidup berkeluarga ...


IISA VISIWASKITA: Assessment, Consultancy & Research Centre
Benar Pak Ajie Widyantoro Albertus Magnus bahwa "jalinan komunikasi yang intens, terbuka dan mutual dasar merupakan awal mesranya hidup berkeluarga", meski lebih sering hal ini menjadi sekadar pameo saja.

Faktor indikatif yang kadang tak disadari ialah penyelesaian unfinished business antar suai-isteri berkenaan dengan pengalaman pengasuhan mereka dulu ketika kanak-kanak. Kalau mau check, mudah, yaitu dari hal yang tak disukai bapak atau ibu pada diri anak. Kalau Pak Ajie menemukan hal itu, itulah juga hal yang tidak Pak Ajie sukai pada pasangan. Dari pengenalan itu solusi komunikasi dimulai dan didasarkan.


IISA VISIWASKITA: Assessment, Consultancy & Research Centre
Pak Bernadus Asri Teguh, terima kasih jempol dan pertanyaannya.

Di balik adjective "kolokan" (baik berdasarkan observasi terhadap perilaku verbal [mis: merajuk] maupun nonverbal, [mis: ngglendhot, suka melakukan kontak fisik]) tersimpan dua kemungkinan:

(1) orangtua/guru: yang merasa risih atau menilai perilaku itu sebagai tak sepantasnya; atau
(2) anak memiliki kecerdasan kinestetik dominan.

Kondisi yang membuat kemungkinan pertama, pribadi ortu/guru kurang tepat menemukan "titik sentuh" anak, disamping (biasanya) punya masa lalu sering diperlakukan kasar atau ditangani dengan kekerasa fisik oleh orangtuanya. Kemungkinan kedua, anak sedang menunjukkan kebutuhannya untuk disentuh atau didekati sesuai dengan kekhasan sensor kecerdasan dominannya. Kekhasan ini yang sering kurang dikenali bahkan oleh orangtuanya. Dalam konsultasi kami juga melakukan parental coaching ke orangtua.


Catatan Editor: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Related Sites: Facebook SoalSial, Twitter SoalSial


Demokrasi Dan Hak Privasi

Edy Suhardono di dalam artikel ini berupaya mengamati hubungan antara demokrasi dan hak privasi.

Menurutnya, …

“Ternyata demokrasi tidak menawarkan jaminan bagi privasi. Privasi bisa mendukung tetapi juga merusak demokrasi. Jika semua warga negara sepenuhnya menggunakan hak mereka untuk privasi, masyarakat akan kehilangan data transparan yang tersedia dan dibutuhkan, sehingga warga dapat mengevaluasi masalah membentuk opini, dan memperdebatkan informasi dalam relevansinya dengan suatu kepentingan.”

Sehubungan dengan itu, Edy bertanya lebih lanjut…

“Jadi, bagaimana seharusnya kita hidup bersama? Apa yang harus kita pedulikan dalam kaitannya dengan kepentingan umum? Bagaimana cara menyeimbangkan antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum?...”

Bagaimana menurut Anda?

Baca artikel aslinya di SoalSial


Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Related Sites: Facebook SoalSial, Twitter SoalSial

Senin, 27 Januari 2014

SoalSial: Pembenaran Atas “Maju Tak Gentar”

Edy Suhardono menulis tentang benarkah motivasi membela yang benar selalu mendasari tindakan yang berani? Ia mengamati hal itu dimulai dari upaya perombakan makna “menghormati” menjadi “menaati”. Lewat latihan menaati orang tua dan guru sekolah membuat kita terkondisi pada siapa kita menggantangkan harga diri. Penghormatan pun menjadi penaatan.

Di dunia kerja, perintah pengampu otoritas kepada bawahan untuk melakukan sesuatu yang tak etis, sulit dihindari. Bawahan mungkin sadar bahwa perintah yang diterima tak etis, tetapi penilaian dirinya tunduk terhadap dorongan mematuhi.

Edy memberikan beberapa amatan mengenai mengapa dorongan untuk patuh tersebut begitu kuat.

“Sikap ambigu menghadapi tuntutan hidup layak membuat kita rentan melakukan pemelintiran moral/etik. Alih-alih menoleransi ketidakpastian karena harus mempertimbangkan penilaian dari berbagai sudut pandang, lebih baik mengimplementasikan pendapat pertama yang muncul menjadi tindakan sembari menutup pertimbangan yang muncul kemudian.”

Bagaimana menurut Anda? Mengapa ketaatan atau kepatuhan membuat kita dapat melakukan penyangkalan pada diri sendiri?

Baca artikel aslinya di SoalSial


Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Related Sites: Facebook SoalSialTwitter SoalSial