Jumat, 04 Oktober 2013

Bidang Studi Tak Punya Jenis Kelamin

Edy Suhardono memposting cerita tentang keraguan orangtua terhadap saran pilihan bidang studi putrinya.

Pak Ramsos dan Bu Irawati, salah satu klien IISA, serta putrinya Ilda, telah memperoleh laporan pemetaan kecerdasan Ilda. Rekomendasi pertama bidang studi yang tepat untuk ditempuh oleh Ilda dalam laporan adalah Teknik Geodesi. Ilda sepakat dengan rekomendasi itu, namun ayah ibunya ragu.

Sejak awal Pak Ramsos dan Bu Irawati sudah berbeda pendapat mengenai jurusan apa yang sebaiknya ditempuh Ilda. Mereka ingin putrinya menempuh studi Sastra Jepang.

Ketika Edy Suhardono menanyakan apa pertimbangan-pertimbangan yang selama ini dipikirkan Pak Ramsos dan Bu Ira mengenai pilihan bidang studi putrinya, berikut petikan jawaban mereka.
“Ya, kedatangan kami ini untuk meminta pertimbangan Pak Edy. Sebab, kami, saya sendiri dan isteri saya, sudah berbeda pendapat soal jurusan apa yang sebaiknya ditempuh Ilda; sementara kami berdua pun sama sekali berbeda dengan keinginan Ilda, yang kayaknya justru dikuatkan dengan laporan hasil pemetaan kecerdasannya. Keberatan kami, ya tadi, Teknik Geodesi ‘khan bidang studi yang “cowok banget”. Takutnya Ilda jadi ‘tomboy’,” jelas Pak Ramsos.
Edy Suhardono menjelaskan bahwa rekomendasi bidang studi Ilda, yaitu pertama Teknik Geodesi, kedua Fisika Sonar, dan ketiga Musiklogi (Drum, Perkusi) benar-benar didasarkan pada profil peta kecedasan Ilda.

Apakah Anda memiliki cerita yang sama seperti di atas? Apakah Anda pernah mendengar teman atau keluarga Anda mengalami permasalahan serupa?

Baca artikel aslinya di Maya Aksara

Rabu, 02 Oktober 2013

Perlukah Menuduhnya Berselingkuh?

Edy Suhardono menulis artikel tentang salah satu kasus konsultasi pernikahan yang ia tangani.

Seorang istri geram dengan perilaku suaminya. Menurut si istri, ketika ia bertanya apakah si suami tergoda oleh seorang perempuan, si suami tak pernah menatap matanya saat menjawab. Tanda-tanda lain yang mencurigakan juga adalah si suami sering tak menjawab ketika ditelepon dan lebih sering terlambat pulang kerja.

Sebagai respon awal, Edy Suhardono bertanya kepada si istri untuk menelisik lebih jauh...
Apakahmenginginkan sekadar penjelasan untuk menentukan siapa pihak yang lebih bersalah atas yang sedang terjadi di antara kalian sebagai pasangan? Ibu barusan membaca terlalu banyak tanda-tanda untuk menjelaskan apa yang terjadi, bukan? Padahal, tanda-tanda itu telah Ibu tentukan justru untuk membenarkan keyakinan Ibu,”
Edy Suhardono berupaya  menjajaki seberapa kuat kapasitas si istri melakukan refleksi diri. Ini diperlukan agar dapat menentukan pintu masuk yang tepat untuk menawar sejauh mana si istri memiliki daya toleransi terhadap kekecewaan.

Ingin tahu bagaimana akhir percakapan di atas?

Baca artikel aslinya di Maya Aksara